Menyuarakan Kebenaran


“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (QS. Al Ahzab: 70).
Menyuarakan kebenaran bagi sebagian orang merupakan hal yang sulit. Bagaimana tidak, di tengah masyarakat yang amburadul seperti ini, menyuarakan kebenaran adalah sama halnya dengan mengenggam bara api. Digenggam tangan terbakar, dilepas api menjalar. Sangat dilematis. Tapi itulah yang harus kita suarakan. Menyuruh seseorang berbuat baik lebih mudah dilakukan ketimbang melarang seseorang berbuat jahat. Sebutan aneh, kerap dilekatkan terhadap orang-orang yang berusaha menyuarakan kebenaran.

Di kantor-kantor atau instansi lainnya, baik pemerintah maupun swasta misalnya, budaya korupsi sudah sedemikian mengakar sehingga seolah-olah sulit untuk dihempaskan. Ibaratnya semua orang telah menganggap perbuatan tersebut sah-sah saja karena sudah saling tahu antara atasan dan bawahan. Ketika ada orang yang berani menegur atau mencegah mereka berbuat korupsi, ramai-ramai para pelaku mencap aneh dan sok alim kepada orang tersebut. Hal ini tentu saja berbeda jauh dengan kehidupan para sahabat Rasul yang senantiasa melindungi diri dari berbuat dosa, sekecil apa pun dosa itu.
Kondisi masyarakat yang serba bebas dalam berbuat dan berprilaku, memang menjadi tantangan tersendiri bagi kita untuk menguji keimanan. Amar ma’ruf nahyi munkar harus senantiasa ditegakkan. Dan ini membutuhkan keberanian kita dalam menyuarakan kebenaran.

Kerusakan masyarakat telah nampak ketika individu-individunya tidak lagi mempedulikan perkara halal atau haram dalam perbuatannya. Yang ada dalam benaknya adalah menyenangkan atau tidak, merugikan atau menguntungkan. Sama sekali telah mengesampingkan aspek hukum. Hal ini diperparah pula dengan sikap sebagian tokoh intelektual yang notabene mengerti hukum yang cenderung diam menyaksikan kerusakan yang tengah berlangsung di masyarakatnya. Malah ada juga yang ternyata semakin memperburuk suasana dengan melontarkan penyataan yang membingungkan umat.
Semboyan “Qulil haqqa walau kaana muron.” (Katakan kebenaran itu meski terasa pahit), nampaknya perlu diupgrade lagi sehingga kita merasa berani menyampaikan kebenaran. Meski risiko yang bakal dihadapi adalah kepahitan dan kesulitan hidup. Dan saat ini justeru waktu yang tepat untuk menyampaikan kebenaran, di tengah masyarakat yang amburadul. Menyuarakan tak dibatasi oleh ruang dan waktu, di manapun dan kapan pun. Oleh siapa saja, tak peduli apakah ia pejabat, rakyat, orang kaya, kaum miskin, ulama, termasuk kita semua sebagai seorang muslim yang terbebani kewajiban melakukan ‘amar ma’ruf nahyi munkar. Dari Abi Said Al-Khudri Radhiallahu ‘anhu telah berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda: “Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemunkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; bila ia tidak mampu, maka dengan lidahnya, dan kalau tidak mampu maka dengan hatinya (menolak kemunkaran tersebut), dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.” (H.R. Muslim).



Sebenarnya, usaha meredam laju kerusakan sudah mulai tampak, meski cahayanya kalah pamor dengan kemunkaran itu sendiri. Paling tidak sudah ada tanda-tanda kesadaran dalam diri sebagian umat untuk berusaha bangkit dari keterpurukan ini. Berbagai cara coba ditempuh untuk menutupi kerusakan yang terjadi akhir-akhir ini. Syiar-syiar Islam mulai semarak meski baru berupa letupan-letupan kecil. Setidaknya, hal itu merupakan awal munculnya kesadaran umat akan islamnya itu sendiri dan langkah berikutnya adalah berusaha membela kebenaran dari ajaran-ajaran Islam.
Tentu saja, agar suara kebenaran lebih kelihatan bertenaga, poin-poin yang disampaikan harus betul-betul yang tengah ngetren di masyarakat dan berusaha memberikan solusi-solusi jitu dari berbagai permasalahan kehidupan mereka. Harus dihilangkan perasaan ragu dan takut, bahwa kita akan diberangus bila dianggap terlalu berani menyampaikan kebenaran Islam apa adanya. Karena risiko menyampaikan kebenaran memang demikian, apalagi dalam situasi dan kondisi yang seperti sekarang ini, ketika masyarakat dan negara mengabaikan aspek hukum. Rasulullah SAW., menyatakan: “Penghulu para syuhada adalah hamzah, serta orang yang berdiri di hadapan seorang penguasa yang dzalim, lalu memerintahkannya (berbuat ma’ruf) dan mencegahnya (berbuat munkar). Lalu penguasa itu membunuhnya.” (HR. Hakim dari Jabir).
Kebenaran harus senantiasa eksis di bumi ini, meski untuk itu kita harus mengorbankan segalanya yang kita miliki termasuk harta dan nyawa. Allah memberikan pujian bagi orang yang melakukannya, seperti dalam hadits di atas, juga dengan firman-Nya: “Mereka adalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imron: 104). “Kalian adalah sebaik-baik umat.” (QS. Ali Imron: 110). Jadi, tunggu apa lagi???^^

Tinggalkan komentar

Belum ada komentar.

Comments RSS TrackBack Identifier URI

Tinggalkan komentar